Senin, 03 Maret 2008

musik bambu EMPUPALMAN

kami lihat Bambu tertiup angin, dia bergerak sebatas kemampuannya untuk lentur mengikuti arah angin, kemudian memantul kembali dengan sekuat energi yang ia terima dari sang angin. Dan datanglah hujan tak kala bambu-banbu tua mulai rapuh terbawa arus air hujan, disitualah dia bertemu, bergesekan dengan tempurung kelapa maka berdialog dalam perjalannya kelaut, tempat segala sesuatu berakhir kemudaian memualai. Laut tak pernah menenggelamkannya walaupun obaknya begitu dahsyat menghantam keberadaanya, tapi begitulah cara laut menyapa segala yang datang kepadanya,


sejauh mata kami memandang, laut hanya temapat terakhir bagi segala yang mengalir kemudian membentuk sebuah kekuatan untuk memulai hal yang baru. Gelomban, karang, ikan-ikan juga sampah yang mengabang diatasnya telah memberi kami banyak pelajaran” tentang hidup” . Akhirnya kami memiliki cara untuk mengungkapkan hidup itu dengan apa yang kami terima dan segala yang kami bisa



....................................Pada sebuah dapur yang mulai di tinggalkan fungsinya oleh pemiliknya juga mulai rapuh karena usia, berusaha membangun sebuah harmoni, mencoba menjadiakn sebauah laut yang disitu juga ada sebuah pelabuan bagi jiwa mulai letih dengan perjalanan, juga mengumpulkan energi mencari pijakan dan melangkah pasti.

Empupalman, mungkin inilah pelabuhan yang di dapur usang itu, atau mungkin juga sebuah laut yang sekaligus tempat pembuangan akhir sampah yang sudah muali sulit dikenali bentuk dan bahannya.

Mocopat disini menjadi Bintang dalam pelayaran kami, paling tidak sekedar tempat berkilah agar kami masih bisa disebut orang jawa, heheee

orang jawa jangan sampai kehilangan jawanya mh............he heeheeehee




Pincuksullay. 05 february 2008, jepara