Senin, 03 Maret 2008

DOKUMENTASI BERITA

Dari Forest Art Festival di Blora (1)

Tak Ubahnya Perkawinan Seni dan Lingkungan

PERANG OBOR: Sebuah pertunjukan seni dari Komunitas Umbul Rembulan Jepara dalam judul "Perang Obor', salah satu atraksi yang turut menyemarakkan Forest Art Festival di Hutan Randublatung Blora, baru-baru ini.(30t) - SM/Wisnu Kisawa

Selama dua hari, 19-20 November, di Hutan Randublatung Blora diselenggarakan Forest Art Festival. Tak hanya sekadar menghadirkan bermacam kesenian mulai dari kesenian rakyat hingga modern, festival tersebut juga membawa serta semangat tentang konservasi lingkungan. Lantas seperti apa dan bagaimana festival itu digelar, berikut laporan wartawan Suara Merdeka, Wisnu Kisawa

MEMASUKI arena yang digunakan untuk menggelar acara Forest Art Festival (FAF), benak seperti dijejali berbagai hal tentang konservasi lingkungan. Dengan mengambil tempat di salah satu kawasan Hutan Randublatung Blora, festival memang tak ubahnya seperti kampanye lingkungan hidup.

Lihat saja ketika kaki belum lagi berada di dalam arena festival, di pintu gerbang telah menyapa berbagai tulisan yang berisi tentang kampanye lingkungan. Tak hanya sekadar menyapa, tulisan-tulisan itu sekaligus menjadi petunjuk atau penerang tentang apa sebenarnya yang akan terungkap di dalam.

Ya, begitu masuk ke dalam, kembali pemandangan serupa akan terlihat. Bahkan di dalam tidak hanya sekadar tulisan, namun juga dengan berbagai bentuk dan ragam sarana visualisasi. Mulai dari karya seni lukis, karya seni pahat, hingga sampai karya seni instalasi yang semuanya berbicara tentang konservasi lingkungan, khususnya lagi tentang hutan.

Itulah di antara sebagian dari pemandangan yang terlihat saat digelarnya acara Forest Art Festival di Hutan Randublatung Blora. Festival yang menghadirkan berbagai macam kesenian mulai dari kesenian rakyat hingga modern tersebut diselenggarakan selama dua hari, Sabtu (19/11) dan Minggu (20/11) lalu.

Adalah Front Blora Selatan (FBS) dan Super Samin Inc, yang menjadi peyelenggara acara festival tersebut. Kedua organisasi itu adalah komunitas yang mewadahi anak-anak muda di wilayah Kabupaten Blora yang selama ini cinta akan budaya (kesenian) sekaligus peduli akan lingkungan.

"Festival ini lahir dari sebuah proses panjang dari teman-teman yang selama ini bergiat pada kepedulian lingkungan hidup. Tak ada tujuan lain dari acara ini, kecuali keinginan mengembalikan sinergitas manusia dan alam. Dan itulah sejatinya maksud dari Forest Art Festival," tutur Exi, salah seorang panitia penyelenggara.

Sementara itu, berbagai kelompok masyarakat atau komunitas turut terlibat dalam gelaran acara tersebut. Bukan hanya datang dari wilayah Blora dan sekitarnya, namun juga dari berbagai kota lain mulai dari Semarang, Solo, Jakarta, Bandung, Surabaya bahkan juga Australia. Selain masyarakat umum, masyarakat dari berbagai wilayah tersebut hadir dengan bermacam kapasitas. Entah itu sebagai aktivis lingkungan, pegiat dan pelaku seni, atau juga sekadar penikmat seni.

Perkawinan

Lantas mengapa memilih kesenian sebagai sarana untuk menyampaikan pesan tentang konservasi lingkungan? Menurut Exi, alasannya karena hubungan antara seni dan lingkungan sedemikian dekat dan hingga saat ini masih belum terkontaminasi dengan tendensi di luar kepentingan masing-masing.

Demikianlah, selama dua hari siang dan malam, salah satu kawasan Hutan Randublatung itu pun kemudian bagaikan disesaki oleh bermacam sajian pertunjukan kesenian. Puluhan kelompok dan komunitas seni dari berbagai kota hadir dengan menyajikan bermacam bentuk kesenian.

Dari kelompok kesenian rakyat, hadir seni ketoprak, reog, barongan, kadrah yang berbaur dengan kesenian modern macam musik dangdut, band ataupun musik kontemporer. Bauran bermacam seni ini silih berganti mengisi di (tak kurang) lima panggung yang telah disediakan.

Terdapat pula berbagai pameran mulai dari seni lukis, instalasi, pameran foto, hasil seni cetak cukil, pemutaraan film hingga tato. Satu lagi, di sela-sela berbagai gelaran seni tersebut, dilakukan pula kegiatan penanaman sejuta pohon.

Dengan paduan acara yang demikian banyak, maka Hutan Randublatung kemudian terasa begitu hidup oleh lautan seni. Maka, jika menyaksikan bagaimana bermacam seni itu di gelar di antara pepohonan hutan (yang sayangnya sudah mulai gundul), festival pun tak ubahnya seperti "perkawinan" antara seni dengan alam. Ya, perkawinan dalam bayangan konservasi tentu saja.

"Ini memang bisa dikatakan sebuah perkawinan antara alam dan seni. Perkawinan kembali mungkin tepatnya. Betapa hubungan antara seni dan alam yang sejak dulu memang telah begitu erat, kini bisa dirasakan kembali lewat acara ini. Dan hubungan itu juga tidak saling merusak, namun keduanya malah saling mengisi," tutur Exi.

Harapannya kemudian, lewat perkawinan itu semangat tentang konservasi alam bisa diteriakkan sebagai sebuah penyadaran. Khususnya di saat kondisi alam sudah begitu tak bersahabat karena telah mengalami banyak perusakan. Lantas seberapa jauh konservasi itu diperlukan dalam kondisi alam yang sekarang?(29v)